11 April, 2021, at 11:15 PM WIB (0 comments)
Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang mengikat diri seseorang atau lebih kepada seorang lain atau lebih. Perbuatan hukum tersebut menimbulkan akibat hukum berupa lahirnya hak dan kewajiban. Perjanjian perkawinan dikategorikan sebagai perjanjian domestik yang berbeda dengan perjanjian komersial, namun perjanjian perkawinan tetap tunduk pada syarat-syarat untuk membuat perjanjian umumnya.
Menurut Isnaeni, syarat keabsahan perjanjian perkawinan sebagai perjanjian tetap mengacu pada ketentuan Pasal 1320 BW, yaitu syarat sepakat, cakap, objek tertentu, dan kausa yang diperbolehkan. Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan yang sempurna, yaitu penawaran yang diikuti dengan penerimaan, dan tidak mengandung cacat kehendak. Cakap adalah mereka yang telah genap berusia delapan belas tahun atau pernah melakukan perkawinan, dan tidak berada di bawah pengampuan.
Menurut J. Satrio, yang dapat membuat perjanjian perkawinan adalah suami dan isteri. Jika keduanya telah dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum, mereka dapat langsung membuat perjanjian perkawinan tanpa memerlukan bantuan. Jika salah satu atau keduanya belum dewasa ketika akan melangsungkan perkawinan dengan dispensasi umur, maka mereka yang belum dewasa harus diwakili atau didampingi oleh orangtua atau wali mereka.
Objek tertentu yang dimaksud adalah objek perjanjian yang dapat ditentukan, yaitu prestasi yang harus dapat dilaksanakan oleh para pihak. Menurut Isnaeni, objek perjanjian perkawinan adalah harta benda perkawinan. Mengenai syarat kausa yang diperbolehkan, yang dimaksud adalah maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut tidak dilarang. Pada Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan, batasannya adalah perjanjian perkawinan tersebut tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
Perjanjian Perkawinan sebagai bentuk khusus dari perjanjian, selain memiliki karakteristik perjanjian pada umumnya, juga memiliki karakteristik khusus. Menurut Rosnidar Sembiring, karakteristik khas dari perjanjian perkawinan berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan adalah:
Namun, pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang mengubah makna Pasal 29 UU Perkawinan. Putusan tersebut berakibat:
Menurut Oemar Moechthar, perjanjian perkawinan mengatur akibat perkawinan atas harta masing-masing, meliputi harta kekayaan pribadi keduanya, pemeliharaan dan pendidikan anak, upaya pencegahan kekerasan terhadap rumah tangga, dan sebagainya. Menurut Rosnidar Sembiring, perjanjian perkawinan merupakan ketentuan yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan antara calon suami isteri yang timbul karena perkawinan mereka. Rosnidar Sembiring memberikan contoh-contoh klausul yang dapat dimasukkan dalam perjanjian perkawinan pisah harta:
Menurut Agus Yudha Hernoko, perjanjian perkawinan merupakan persetujuan atau perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur segala hal berikut akibat-akibat hukumnya terhadap harta kekayaan atau harta benda dalam perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat memiliki akibat yuridis sebagai berikut:
Perjanjian perkawinan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum dan jaminan perlindungan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perkawinan, termasuk juga menjadi tolok ukur keberhasilan suatu perkawinan. Menurut Rosnidar Sembiring, perjanjian perkawinan umumnya dibuat apabila:
Berdasarkan uraian-uraian di atas, terlihat bahwa perjanjian perkawinan tidak hanya dibuat untuk keuntungan salah satu pihak, karena perjanjian perkawinan hakikatnya dapat memperjelas hubungan, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dari suami dan isteri dalam perkawinan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka para pihak cukup melaksanakannya saja, dan dalam hal ada sengketa, mereka memiliki dasar atau tolok ukur dari pelanggaran yang dilakukan oleh kawan kawin mereka, sehingga penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan objektif.