Jan 18, 2025

Proctorzone

Contribute

Tools

Related Sites

More...

edit SideBar

Search

Perlukah Perjanjian Perkawinan?

11 April, 2021, at 11:15 PM WIB by Hendrik in PerjanjianPerkawinan, Perkawinan, MaritalWealth, LawEssay (0 comments)

Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang mengikat diri seseorang atau lebih kepada seorang lain atau lebih. Perbuatan hukum tersebut menimbulkan akibat hukum berupa lahirnya hak dan kewajiban. Perjanjian perkawinan dikategorikan sebagai perjanjian domestik yang berbeda dengan perjanjian komersial, namun perjanjian perkawinan tetap tunduk pada syarat-syarat untuk membuat perjanjian umumnya.

Menurut Isnaeni, syarat keabsahan perjanjian perkawinan sebagai perjanjian tetap mengacu pada ketentuan Pasal 1320 BW, yaitu syarat sepakat, cakap, objek tertentu, dan kausa yang diperbolehkan. Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan yang sempurna, yaitu penawaran yang diikuti dengan penerimaan, dan tidak mengandung cacat kehendak. Cakap adalah mereka yang telah genap berusia delapan belas tahun atau pernah melakukan perkawinan, dan tidak berada di bawah pengampuan.

Menurut J. Satrio, yang dapat membuat perjanjian perkawinan adalah suami dan isteri. Jika keduanya telah dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum, mereka dapat langsung membuat perjanjian perkawinan tanpa memerlukan bantuan. Jika salah satu atau keduanya belum dewasa ketika akan melangsungkan perkawinan dengan dispensasi umur, maka mereka yang belum dewasa harus diwakili atau didampingi oleh orangtua atau wali mereka.

Objek tertentu yang dimaksud adalah objek perjanjian yang dapat ditentukan, yaitu prestasi yang harus dapat dilaksanakan oleh para pihak. Menurut Isnaeni, objek perjanjian perkawinan adalah harta benda perkawinan. Mengenai syarat kausa yang diperbolehkan, yang dimaksud adalah maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut tidak dilarang. Pada Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan, batasannya adalah perjanjian perkawinan tersebut tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.

Perjanjian Perkawinan sebagai bentuk khusus dari perjanjian, selain memiliki karakteristik perjanjian pada umumnya, juga memiliki karakteristik khusus. Menurut Rosnidar Sembiring, karakteristik khas dari perjanjian perkawinan berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan adalah:

  1. Perjanjian Perkawinan harus diajukan oleh kedua belah pihak pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan;
  2. Bentuknya harus tertulis, yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan dengan dimuat dalam akta perkawinan;
  3. Isinya tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan agar dapat disahkan;
  4. Tidak dapat diubah tanpa ada kesepakatan antara suami dan isteri, dan perubahannya tidak boleh merugikan pihak lain;
  5. Perjanjian perkawinan ikut mengikat pihak lain di luar perkawinan;
  6. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Namun, pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang mengubah makna Pasal 29 UU Perkawinan. Putusan tersebut berakibat:

  1. Perjanjian perkawinan dapat dibuat selama berlangsungnya perkawinan;
  2. Selain pegawai pencatatan perkawinan, notaris juga dapat mengesahkan perjanjian perkawinan. Namun hingga saat ini belum bisa dilakukan karena belum ada peraturan pelaksanaan pengesahan oleh notaris;
  3. Isi perjanjian perkawinan dapat mengatur mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, sehingga isinya bebas ditentukan oleh suami dan isteri selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan;
  4. Selain dapat diubah, perjanjian perkawinan dapat juga dihapus dengan kesepakatan antara suami dan isteri;
  5. Mulai berlaku sejak saat dilangsungkannya perkawinan, kecuali ditentukan lain berdasarkan kesepakatan suami dan isteri. Hal ini berlaku sekalipun perjanjian perkawinan dibuat selama perkawinan berlangsung.

Menurut Oemar Moechthar, perjanjian perkawinan mengatur akibat perkawinan atas harta masing-masing, meliputi harta kekayaan pribadi keduanya, pemeliharaan dan pendidikan anak, upaya pencegahan kekerasan terhadap rumah tangga, dan sebagainya. Menurut Rosnidar Sembiring, perjanjian perkawinan merupakan ketentuan yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan antara calon suami isteri yang timbul karena perkawinan mereka. Rosnidar Sembiring memberikan contoh-contoh klausul yang dapat dimasukkan dalam perjanjian perkawinan pisah harta:

  1. tidak ada percampuran harta sama sekali;
  2. harta masing-masing tetap menjadi milik masing-masing pihak;
  3. isteri bebas mengurus hartanya sendiri, serta bebas menikmati hasilnya tanpa bantuan suami;
  4. utang ditanggung sendiri-sendiri oleh pihak yang berutang;
  5. pembebanan biaya rumah tangga pada kepala rumah tangga, yaitu si suami;
  6. perabot rumah tangga dianggap milik si isteri;
  7. barang-barang lainnya dianggap sebagai milik yang menggunakan;
  8. barang bergerak karena hibah, warisan, atau apapun yang masuk dalam perkawinan, harus dapat dibuktikan asal usulnya. Jika tidak dapat dibuktikan maka wajib dibagi dua.

Menurut Agus Yudha Hernoko, perjanjian perkawinan merupakan persetujuan atau perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur segala hal berikut akibat-akibat hukumnya terhadap harta kekayaan atau harta benda dalam perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat memiliki akibat yuridis sebagai berikut:

  1. pemisahan harta benda dalam perkawinan; atau
  2. persatuan harta bawaan para pihak dalam perkawinan.

Perjanjian perkawinan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum dan jaminan perlindungan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perkawinan, termasuk juga menjadi tolok ukur keberhasilan suatu perkawinan. Menurut Rosnidar Sembiring, perjanjian perkawinan umumnya dibuat apabila:

  1. terdapat ketimpangan nilai harta benda antara para pihak dalam perkawinan;
  2. terdapat jumlah harta benda dalam jumlah besar yang dimasukkan oleh para pihak dalam perkawinan;
  3. masing-masing pihak memiliki usaha sendiri, sehingga jika salah satu dari mereka pailit, pihak lainnya tidak ikut terkait;
  4. terdapat utang yang dibuat sebelum perkawinan oleh salah satu atau kedua belah pihak, sehingga utangnya ditanggung oleh pihak yang berhutang saja tanpa mengaitkan pihak lainnya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, terlihat bahwa perjanjian perkawinan tidak hanya dibuat untuk keuntungan salah satu pihak, karena perjanjian perkawinan hakikatnya dapat memperjelas hubungan, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dari suami dan isteri dalam perkawinan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka para pihak cukup melaksanakannya saja, dan dalam hal ada sengketa, mereka memiliki dasar atau tolok ukur dari pelanggaran yang dilakukan oleh kawan kawin mereka, sehingga penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan objektif.

Leave a reply
Your name (required):

Your comment (required):


Page Actions

Recent Changes

Group & Page

Back Links